Senin, 13 Agustus 2007

Stop and Go

Untuk menjelaskan judul itu, perlu cerita sedikit. Begini, jika kamu melintas di sebuah jalan yang sempit (satu jalur bolak, satu jalur balik), ramai lalu lintas, eh, ternyata ada jembatan di jalan tersebut yang sedang diperbaiki. Biasanya, untuk membuat jalan tetap bisa dilewati, kontraktor akan memperbaiki satu sisi jembatan dulu. Selesai, baru sisi satunya lagi. Sewaktu satu jalur diperbaiki, tetap saja terjadi kemacetan di jalan itu, karena jalan hanya selebar satu kendaraan - mobil, tidak bisa untuk berpapasan. Kendaraan harus antri. Kalau kendaraan dari satu arah sedang berjalan melintasi jembatan itu, kendaraan dari arah lain berhenti.
Tapi, seberapa lama kendaraan dari sisi yang lain harus menunggu? Bagaimana jika kendaraan dari arah yang sedang melintas di jembatan banyak sekali dan tidak berkesudahan? Kapan giliran kendaraan dari arah lain dapat berjalan? Makanya perlu pengaturan. Pengaturan dilakukan dengan mempersilahkan kendaraan satu arah lewat, setelah beberapa saat (atau beberapa kendaraan lewat), lalu di-stop, dan mempersilahkan kendaraan dari arah yang lain untuk melewati jalan, begitu seterusnya. Bergantian. Men-stop kendaraan bisa pakai tangan, bisa pakai bendera (yang dikibar-kibarkan oleh tangan), bisa pakai kayu (diayun-ayunkan oleh tangan), bisa pakai ranting lengkap dengan dedaunan (dikebut-kebutkan oleh tangan), bisa pakai parang (disabet-sabetkan menggunakan tangan), juga bisa pakai badan (tiba-tiba bermeditasi di atas bangku kayu) yang dipasrahkan di tengah jalan. Nah, pengaturan ini yang berjulukan "Stop and Go". Kira-kira begitulah.
Ceritanya nih, bukan mau membahas definisi pengaturan itu, tapi siapa yang mengatur dan apa tujuannya? Lalu bagaimana sikap pengemudi mobil terhadap pengaturan itu? Lebih jauh (lebih ngelantur), kira-kira apa dampaknya bagi bertumbuhnya sikap patriotisme dan kemanusiaan?
Jelas, kalau tidak ada yang mengatur, bisa-bisa terjadi saling serobot kendaraan, berlawanan arah lagi! Bisa terjadi kecelakaan kan?
Kamu pasti mengatakan: Bukannya polisi lalu lintas yang mengatur? Kamu yang lain, akan bilang: Kalo nggak polisi, Dishub (dinas perhubungan) dong! Kamu yang lain ada yang teriak: Kontraktornya mbok tanggung jawab gitu loh! Tapi kamu juga ada yang berucap: Eh, mungkin karang taruna or anak muda setempat yang mbantu ngatur? Ada yang nyeleneh: Satgas partai?!!? Ada juga kamu yang mengguman: Biarin aja, tabrakan yo ben, wong sugih nganggo mobil ben mati sisan…Sokoooorrrr…Ini kamu yang agak kekurangan, tidak punya mobil tentunya.
Polisi? Dishub? No way. Tidak adalah mereka itu semua di sana. Kamu yang mengatakan mereka ada, salah total. Minimal ini pengalamanku sewaktu melintas di sepanjang jalan Semarang – Purwokerto. Jalurku: Semarang – Ungaran – Ambarawa – Temanggung – Parakan – Kledung – Kertek – Wonosobo – Banjarnegara – Purbalingga – Sokaraja – Purwokerto.

Saat ini, ada empat titik Stop and Go, jalan antara Wonosobo – Banjarnegara dua titik, antara Purbalingga – Sokaraja dua titik.
Memang tidak ada polisi yang mengatur, juga Dishub. Mungkin anggaran pembangunan jembatan itu tidak menambahkan tugas mengawal kelancaran lalu lintas selama pembangunan. Mungkin pamong merasa gajinya tidak mencakup “tambahan” pekerjaan semacam itu. Atau kekurangan personil? Mungkin juga ya, mungkin kekurangan personil yang memiliki skill khusus menggerak-gerakkan tangan. (Mungkin akan ada anggaran belanja pemerintah untuk pelatihan menggerak-gerakkan tangan). Mungkin juga tanggung-jawab itu sudah dibebankan ke kontraktor, sekalian membangun, sekalian menjaga kelancaran lalu lintas. Tapi kontraktor menganggap kerjaaan sekalian tadi terlalu mengada-ada dan di luar cakupan pekerjaan waktu pekerjaan itu dilelangkan.
Benar, masyarakat, terutama anak-anak muda yang tampil mengatur lalu lintas di situ. Kelihatannya bukan karang taruna atau satgas, karena kalau karang taruna atau satgas pasti pakai seragam! (Seragam warisan Orba-kah? Mungkin seragam artinya identitas diri). Ya, itu pasti swadaya masyarakat setempat. Kok masyarakat? Ada pikiran lucu: mungkin anak-anak muda setempat melobi petugas. Biar kami aja yang ngatur pak, bapak pulang aja, istirahat. Dijamin lancar deh lalu lintasnya. Biar kami ikut berpartisipasi dalam pembangunan pak.
Tujuannya? Tak lain tak bukan: membantu kelancaran lalu lintas. Minimal aku merasakan itu selama perjalanan. Karena itu, aku melemparkan seribu perak ke keranjang yang disodor-sodorkan para Stop and Go-ers itu.
Wajarlah aku memberi segitu banyak. Mereka kan menyediakan waktu untuk melakukan pekerjaan itu. Coba bayangkan, mereka kehilangan waktu untuk dapat bekerja yang lain. Opportunity cost istilahnya. Heh, bekerja yang lain? Apa ada pekerjaan yang lain buat mereka? Kalau tidak ada, sumber penghasilannya itu sajakah? Kalau jembatan selesai diperbaiki, bagaimana selanjutnya? Jadi itu murni membantu kelancaran lalu lintas atau kesempatan menambah penghasilan? Secuil pikiran negatifku juga ada: aji mumpung mungkin, mumpung ada jalan rusak, mumpung dapat sedekah. Tapi aku tetap bertahan positif, itu membantu kelancaran lalu lintas, pasti.
Yang menarik, sewaktu aku memberi (tepatnya melempar, karena sambil melaju), orang-orang yang melakukan Stop and Go teriak:Terima Kasih Ooooom! Mudah-mudahan panjang umur dan murah rejeki Oooooommm! Berbagai pikiran berkecamuk setelah mendengar teriakan itu. Memang hati ini kurang ikhlas mungkin, pakai berfikir segala. Kok ucapannya terima kasih? Bukannya aku yang harusnya berterima kasih? Yang butuh aku atau mereka? Om? Kapan aku kawin sama tantemu! Semoga panjang umur dan murah rejeki! Nah, ini mungkin yang membuat aku semakin semangat memberi duit lagi di ujung jembatan satunya. Soalnya, mereka orang yang sedang kesusahan (alias tidak kaya). Do’a orang yang lagi susah didengar Tuhan. Eh, benarkah? Orang kaya mana mau berpanas-panasan di jalan untuk duit yang tidak seberapa (asumsinya aku lagi berpikiran negatif). Orang kaya lebih suka melintas naik mobil ber-AC. Berarti aku?
Sikap pengemudi mobil beragam. Aku dan pengemudi lain yang setipe aku, walau berharap ada imbalan (panjang umur dan murah rejeki), tetap melemparkan seribu (pengemudi lain ada yang kurang dari seribu, yang lebih dari seribu kuragukan ada). Pengemudi lain, peduli amat. Lanjut terus, sambil menekan gas ditimpali kopling. Pengemudi lainnya, memandang dengan mata sedikit dipicingkan bagian ujung luarnya. Biar tampak syahdu. Harapannya supaya bisa diterjemahkan: maaf mas, lagi nggak ada duit receh. Pengemudi yang lainnya lagi, teriak: Apaan sih? Mau macam-macam? Mukanya tampak garang. Soalnya, si mas-mas menggedor kaca samping mobilnya meminta (agak memaksa) sumbangan ala kadarnya. Pengemudi yang lain lagi, memandang dengan mata meremehkan. Dalam pikirannya: Huh, dasar anak-anak malas. Maunya dapat uang dengan cara gampang. Enak aja. Ini tipe pengemudi yang merasa orang lain gampang mendapatkan pekerjaan di Indonesia, dan semua orang yang tampak santai dianggap malas. Perasannya, hanya dirinya yang mau dan bisa bekerja keras.
Apa hubungan kegiatan Stop and Go dengan patriotisme? Jelas, anak-anak muda itu berjiwa patriotik. Mereka kan mengambil tugas negara, dan membebani pundaknya dengan tugas negara tersebut. Semestinya, negara memiliki tugas menyediakan barang publik. Kelancaran lalu lintas di jalan publik juga tanggung jawab negara kan? Pengemudi mobil yang mau antri mengikuti petunjuk Stop and Go juga berjiwa patriotik. Membela kehormatan negara dengan mau antri meskipun diatur oleh orang-orang “wong cilik” yang bukan alat negara. Coba kalau ada turis asing. Mereka akan mengatakan begini: Wah, negara ini memang hebat. Lihat, rakyatnya tidak perlu diurus, bisa ngurus diri sendiri.
Kalau kemanusiaan? Jelas dong. Pengemudi dibantu kelancaran perjalanannya, anak-anak muda kampung dibantu keuangannya. Sangat berperi kemanusiaan. Meskipun kalau tidak diberi duit, mungkin dari mulut para Stop and Go-ers muncul sumpah-serapah. Meskipun setelah memberi duit, mungkin pengemudi tidak mau tahu dan merasa tidak perlu tahu duit yang diberikannya dibelanjakan buat apa. Cukup apa tidak. Ya kan?


Keyword: Polisi dan Dishub cuek: sudah syukur jalan diperbaiki - masyarakat turut membantu melancarkan lalu lintas sambil mendapatkan uang rokok – aku juga cuek: beri saja seribu perak biar mobilku tidak digores.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Walah... sekaline posting langsung sak Hu-hah... kayaknya semua "isi kepala" muntub-muntub berdesakan mau keluar semua... Huekekek.... Satu judul, banyak topik bahasan... mumpung di blog.

Ku-link di blog-ku ya...